Kalau kita melihat bagaimana film ini dibuat, pasti kita berdecak kagum. Sebab semua teknologi canggih di masa itu dikerahkan
(film ini dibuat tahun 1976). Setting kota Mekkah dibuat sangat detail, mulai dari Ka`bah yang ternyata saat itu belum berkiswah hitam, masih lurik-lurik. Hingga suasana pasar di Mekkah abad ke-7 Masehi yang telah diramaikan oleh para kafilah dagang berbagai bangsa.
Begitu juga setting kota Madinah juga dibuat sangat teliti, kita bisa melihat jelas bagaimana Masjid Nabawi pertama kali didirikan dengan atap pelepah kurma, dinding batu dan semen, serta tiang-tiang dari batang pohon kurma.
Detail kostum para prajurit perang Badar dan Uhud juga tampil menarik. Apalagi saat dikerahkan 10.000 pasukan berkuda yang mengepung kota Mekkah itu plus dengan genderang perang yang dibunyikan seirama dengan alunan takbir yang memecah angkasa. Hmm, sangat kolosal dan mengagumkan.
Saya berpikir, bahwa teknik pembuatan film ini pasti unik. Bayangkan bahwa di zaman itu dunia film pasti belum kenal CGI dan komputer grafik, semua di-take secara apa adanya, asli bin original.
Yang bikin menarik lagi, nampaknya Mustafa Al-Aqqad sangat ingin menjaga nuansa keaslian suasana Arab abad ke-7 tampil utuh. Sampai dia tidak rela kalau nantinya film ini rusak gara-gara didubing (baca : sulih suara). Mungkin agar bisa ditonton dengan nyaman oleh dua peradaban, barat dan Arab. Maka dibuatlah dua film, yang satu film Ar-Risalah dan satu lagi diberi judul The Message. Dua buah film yang dibuat bersamaan dengan satu alur cerita tapi dengan pemain yang berbeda. Tentu dengan dialog yang agak sedikit berbeda, tapi tetap satu alur. Hmm, luar biasa memang.
Ar-Risalah dimainkan oleh para pemeran yang bertutur bahasa Arab, di antaranya Abdullah Ghaits yang berperan sebagai Hamzah dan Muna Washif yang berperan sebagai Hindun. Sedangkan versi The Message dimainkan oleh para bintang yang bertutur dalam bahasa Inggris, termasuk Antony Quinn yang memerankan Hamzah dan Irene Papas.
Rupanya urusan alih bahasa, Mustafa jelas ingin sempurna. Tidak cukup hanya memberi sub-title atau dubbing, tapi waktu shooting, take dilakukan dua kali. Sekali take untuk dialog para pemeran yang berbahasa Arab dan sekali take lagi untuk dialog pemeran yang berbahasa Inggris. Sebab cara orang Arab dalam berbicara amat beda dengan orang Inggris dan sebaliknya. Ada begitu banyak ekspresi dan bahasa tubuh yang tidak bisa dianggap remeh, buat seorang Mustafa Al-Aqqad.
Tapi kalau adegan yang longshot atau kolosal, sepertinya kedua film itu menggunakan hasil take yang sama.
Original Sound Track (OST) film ini juga dibuat secara orkestra dicompose oleh musikus kawakan, Maurice Jarre, yang mengadaptasi irama padang pasir dalam versi konser. Jarre banyak menggarap OTS film kolosal, salah satunya film tentang si orientalis Inggirs, Laurence the Arabia.
Kedua film ini diniatkan oleh Mustafa Al-Aqqad untuk menjadi jembatan antara barat dan timur, seperti ungkapannya. "Sudah menjadi tugas saya sebagai muslim yang tinggal di Barat untuk memperkenalkan wajah Islam yang original, agama yang dipeluk oleh 700 juta manusia (tahun 1976-red). Namun sedikit sekali informasi yang lurus tentang Islam di Barat, sebuah kenyataan yang agak memprihatikan buat saya."
"Maka saya melihat sebuah kebutuhan yang besar untuk bercerita tentang kisah yang membangun jembatan antara kedua dunia itu", tambahnya.
Boikot Hollywood
Cita-cita luhur Mustafa Al-Aqqad bukan tanpa halangan. Rupanya jaringan yahudi Hollywood merasa kecolongan dengan rencana pembuatan film ini. Kelihatan sekali mereka kompak memboikot film ini, khususnya masalah pembiayaan. Sampai akhirnya Mustafa terpaksa jual-jual proposal ke timur tengah minta support dana.
Sayangnya orang-orang Arab zaman segitu masih belum punya apresiasi yang tinggi tentang dakwah lewat film. Alih-alih dapat dana, yang keluar malah fatwa yang mengharamkan bikin film tentang Nabi Muhammad.
Sampai-sampai ketika lokasi film sudah disiapkan dan setting kota Mekkah, Madinah dan yang lainnya sudah siap, tiba-tiba para ulama di Maroko (Maghrib) juga ikut-ikutan memboikot rencana pembuatan film ini. Sehingga terpaksa shooting film gagal. Setting kota Mekkah dan Madinah yang sudah rapi, terpaksa dibongkar.
Bantuan Muammar Al-Qadzdzafi
Dalam keputus-asaan itu, tiba-tiba datang berita baik dari Libya. Sang kolonel penguasa negeri itu menawarkan bantuan, bukan hanya dana tetapi juga semua yang dibutuhkan. Termasuk tentara nasional Libya ikut dikerahkan. Maka lokasi shooting dibuat di Libya, atas bantuan besar dari sang penguasa.
Konon tentara nasional ikut main film dalam adegan Fathu Mekkah yang memang butuh 10.000 orang figuran. Walau pun tampil sekilas, longshot pula, yang penting mentas, mungkin begitu pikir para tentara Libya itu.
Sebagai ungkapan terima kasih, Mustafa Al-Aqqad lantas menghadiahi Al-Qadzdzafi sebuah film yang mengungkap kepahlawanan bangsa Libya, Umar Al-Mukhtar. Sebuah film panjang dan juga kolosal, Anthony Quinn ikut main jadi sang pahlawan. Tapi film ini hanya dibuat dalam satu bahasa, yaitu bahasa Inggris. Urusan orang Arab mau nonton film ini juga, film ini kemudian disulih-suarakan.
Film Ar-Risalah di indonesia
Di Indonesia konon film ini sempat diputar di bioskop di tahun 78-an, saya kurang `ngeh` karena waktu masih duduk di SD. Lagian bioskop masih rada-rada haram waktu itu. :)
Tapi lewat video, boleh dibilang film inilah yang berkali-kali saya tonton video sejak masih duduk di SMA hingga sekarang ini. Sambil berseloroh saya sering bilang, bahwa film ini lebih dari seribu kali saya tonton, sampai-sampai saya hafal luar kepala hampir semua dialognya yang berbahasa Arab itu. Bahkan dulu waktu masih belajar bahasa Arab di LIPIA, film ini malah menjadi salah satu media pengajaran bahasa Arab.
Dalam banyak kegiatan daurah dan trainning keislaman di SMA dan kampus-kampus, peran saya selalu menjadi `komentator` diputarnya film ini. Dan biasanya, acara daurah berhari-hari yang isinya ngaji melulu itu akan menjadi lebih segar kalau film ini diputar. Biasanya saya bukan cuma menterjemahkan isi dialognya, tetapi malah ceramah kesana kemari menceritakan lebih detail lain tentang sirah nabawiyah.
Sayangnya waktu itu, film ini masih berformat kaset video Betamax, yang diputar berkali-kali dimana tiap kali diputar gambarnya makin memudar. Apalagi sebenarnya video itu hasil direkaman tidak resmi dari video player ke video recorder yang dicolok pakai kabel AV. Hasilnya pasti mengalami penurunan kualitas.
Lucunya, hasil rekaman itu kemudian direkam lagi, hasilnya direkam lagi dan begitu terus menerus. Yang saya punya mungkin sudah keturunan yang ke-12 barangkali.
Hasil akhirnya?
Gambarnya goyang-goyang, suaranya pecah, warnanya pudar, dan layarnya bintik-bintik putih karena head video playernya sudah tipis. Terus disemprot pakai cleaner, bisa normal lagi. Wah, kalau mengenang masa itu, sedih juga ya. Tapi ya tetap saja ditonton orang banyak.
Tidak terbayang di zaman itu nantinya akan ada teknologi VCD, DVD, mpeg, DV dan sejenisnya seperti di zaman sekarang. Zaman segitu belum ada Adobe Premierre, Avid atau Ulead Video Editing. Semua masih pakai pita kaset yang bisa kusut dan gambarnya hilang kena magnit.